Jumat, 03 November 2017

Pendahuluan : Etika Sebagai Tinjauan

Diposting oleh Unknown di 07.26 0 komentar
Nama : Arysti Safira Wulandari
NPM  : 21214721
Kelas  : 4EB21


Pengertian Etika
Etika berasal dari kata yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha)  berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Perpanjangan dari adat membangun suatu aturan kuat di masyarakat, yaitu bagaimana setiap tindak dan tanduk mengikuti aturan-aturan, dan aturan tersebut ternyata telah membentuk moral masyarakat dalam menghargai adat istiadat yang berlaku.

Pendapat Para Ahli
Menurut Suseno (1987), etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap bertanggung jawab  berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Menurut Katsoff, etika sebenernya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan tingkah laku manusia.

Prinsip-prinsip Etika
Prinsip etika yang merupakan landasan penting, diantaranya :
1.                  Prinsip Keindahan
Berdasarkan prinsip ini, manusia memperhatikan nilai-nilai keindahan dan ingin menampakkan sesuatu yang indah dalam perilakunya. Contoh : Rapih dalam berpakaian, Indah dalam penataan ruangan.
2.                  Prinsip Persamaan
Berdasarkan prinsip ini, manusia pada dasarnya memiliki hak dan tanggug jawab yang sama . misalnya persamaan ras serta persamaan dalam bidang apapun sehingga tidak menimbulkan perbuatan yang diskriminatif.
3.                  Prinsip Kebaikan
Berdasarkan prinsip ini, setiap individu berupaya membuat kebaikan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh : Saling menyayangi, Saling menghormati satu sama lain.
4.                  Prinsip Keadilan
Berdasarkan prinsip ini, mendasari seseorang untuk bertindak adil dan proporsional serta tidak mengambil sesuatu yang menjadi hak milik orang lain.
5.                  Prinsip Kebebasan
Berdasarkan prinsip ini, setiap manusia mempunyai hak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya selama masih di dalam batas wajar, oleh karena itu setiap kebebasan harus diikuti dengan tanggung jawab sehingga manusia tidak melakukan tindakan yang diluar batas kepada orang lain.
6.                  Prinsip Kebenaran
Berdasarkan prinsip ini, biasanya kebenaran digunakan dalam logika keilmuan yang muncul dari hasil pemikiran yang logis dan rasional. Tidak setiap kebenaran dapat diterima sebagai suatu kebenaran apabila belum dibuktikan.


TEORI – TEORI ETIKA
NO
Teori
Logika
Kriteria Etika
Tujuan Hidup
1
Egoisme
Tujuan dari tindakan
Memenuhi kepentingan pribadi
Kenikmatan duniawi secara individu
2
Utilitarianisme
Tujuan dari tindakan
Memberi manfaat bagi banyak orang
Kesejahteraan duniawi masyarakat
3
Deontologi
Tindakan ini sendiri
Kewajiban mutlak semua orang
Demi kewajiban itu sendiri
4
Hak Asasi
Tingkat kepatuhan terhadap HAM
Aturan tentang HAM
Demi martabat kemanusiaan
5
Keutamaan
Disposisi karakter
Karakter positif negatif individu
Kebahagiaan duniawi dan mental (psikologis)
6
Teonomi
Disposisi karakter dan tingkat keimanan
Karakter mulia dan mematuhi kitab suci agama masing-masing
Kebahagiaan rohani, mental dan duniawi

Egoism

Setiap orang sesungguhnya hanya peduli pada dirinya sendiri. Dalam konsep egoisme etis, bila seseorang belajar sampai larut malam agar bisa lulus ujian, atau bekerja keras agar memperoleh penghasilan yang lebih besar, maka semua tindakan tersebut lebih banyak didasari oleh kepentingan diri sendiri. Apabila tindakan yang dilakukan menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu menguntungkan diri sendiri.

Utilitarianisme

Teori utilitarianisme dipelopori David Hume (1711-1776), dan dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) serta John Stuart Mill (1806-1873). Teori ini berpandangan suatu tindakan disebut baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest numbers).Oleh karena itu, teori utilitarianisme berprinsip tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan, atau hasilnya). Kelemahan teori utilitarianisme terletak pada pengorbanan prinsip keadilan dan hak individu atau minoritas demi keuntungan sebagian besar orang (mayoritas). Contohnya : pembangunan jalan tol.

Deontologi

Teori deontologi berisi keharusan bagi setiap orang untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. Dengan demikian, etis tidaknya suatu tindakan tidak berhubungan sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut.

Hak Asasi Manusia (HAM)

Teori hak brasumsi bahwa setiap manusia mempunyai martabat yang sama, artinya jika suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka tindakan yang sama tersebut merupakan kewajiban bagi orang lain. HAM berhubungan dengan : (1) hak hukum (legal right), yaitu hak yang dedisarkan atas sistem/ yuridiksi hukum suatu negara, yang dalam hal ini sumber hukum tertinggi suatu negara adalah UUD negara yang bersangkutan; (2) hak moral atau kemanusiaan (moral, human right)yang berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang kepentingan individu tersebut tidak melanggar hak-hak orang lain, dan (3) hak kontraktual (contractual right) yang mengikat individu-individu yang membuat kesepakatan atau kontrak bersama sebagai wujud hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Keutamaan

Teori keutamaan (virtue theory) berhubungan dengan sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar disebut sebagai manusia utama atau manusia hina. Dalam ilmu psikologi, karakter merupakan disposisi sifat atau watak seseorang yang telah melekat atau dimiliki oleh seseorang dan mendorong orang tersebut untuk selalu bertindak baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku buruk secara moral disebut manusia hina.

Teonom

Teori teonom menyatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan seara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Tuhan, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan-aturan atau perintah Tuhan seperti yang tertulis dalam kitab suci. Seluruh agama memiliki ajaran moral (etika) yang bersumber dari kitab suci masing-masing. Ada prinsip etika yang bersifat universal dan mutlak yang dijumpai di hampir seluruh agama, namun ada juga yang bersifat spesifik pada agama tertentu saja. Prinsip universal dalam agama berbentuk pengakuan adanya Tuhan dan kekuatan tidak terbatas yang mengatur alam raya ini. Selain itu, seluruh agama mengakui bahwa umat manusia memiliki tujuan tertinggi selain tujuan hidup di dunia.

 Referensi:
Sigit, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern: Pendekatan Pemangku Kepentingan. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.

Fahmi, Irham. 2014. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. Bandung: ALFABETA.

Prinsip Etika Dalam Bisnis

Diposting oleh Unknown di 07.25 0 komentar
Nama : Arysti Safira Wulandari
NPM  : 21214721
Kelas  : 4EB21

ETIKA BISNIS
Etika merupakan pernyataan benar atau salah yang menentukan perilaku seseorang tergolong bermoral atau tidak bermoral, baik atau buruk. Sedangkan, etika bisnis adalah perwujudan dari serangkaian prinsip-prinsip etika normatif ke dalam perilaku bisnis. Dalam hal ini etika bisnis berperan sebagai pedoman dalam menentukan benar tidaknya suatu tindakan yang dilakukan korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Jika dalam kehidupan sehari-hari ketidakjujuran menunjukkan perilaku yang tidak etis, maka korporasi yang menutupi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya atau menutupi kelemahan produk/jasanya yang berpotensi membawa kerugian bagi konsumen dapat disebut sebagai korporasi yang tidak etis. Dengan demikian, tindakan etis dalam dunia bisnis juga berasal dari praktik kehidupan sehari-hari, sehingga bisnis tidak dapat menetapkan sendiri benar salahnya suatu tindakan tanpa berpijak pada norma kehidupan masyarakat. Walaupun sebuah korporasi dapat berkelit dari tuntutan etis karena berlindung di baik aturan atau regulasi, tetap saja masyarakat secara bersama-sama akan mengecam atau menuntut korporasi ke pengadilan agar kembali berperilaku bisnis yang etis.
Sebuah survei yang dilakukan di AS (2005) menemukan bahwa 52% tenaga kerja di sebuah korporasi pernah melakukan tindakan yang tidak etis. Contoh tidak etis yang dimaksud sebagai berikut:
·         Memarahi atau mengancam karyawan lain
·         Berbohong
·         Lebih menonjolkan kepentingan diri sendiri dibandingkan kepentingan korporasi
·         Melanggar aturan
·         Dll

Pertanyaan yang menarik untuk dijawab adalah: mengapa bisnis harus dijalankan secara etis? Benarkah tindakan etis tidak sejalan dengan upaya untuk memperoleh laba?
Ada beberapa alasan mendasar tentang perlunya bisnis dijalankan secara etis (Lawrence dan Weber, 2008). Alasan pertama adalah bisnis harus dijalankan secara etis untuk memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan. Sebuah jajak pendapat di tahun 2001 (Juliet Altham,2001) menyebutkan, orang-orang yang berasal dari 9 negara dari 10 negara yang disurvei memilih untuk menjalankan hidup sesuai dengan standar etika yang tinggi sehingga diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan pandangan umum bisnis selama ini yang hanya menekankan kepada laba; kemampuan membayar pajak, mengikuti aturan, dan menciptakan lapangan kerja. Jika masyarakat sudah terbiasa dengan kehidupan yang baik dan etis, dengan sendirinya bisnis yang dijalankan pun akan dikelola dengan baik dan etis (good corporate governance).
Alasan terakhir perlunya menjaga etika bisnis adalah dalam sistem pasar terbuka, pemerintah bersifat netral agar efektif menjaga kepentingan dan hak semua pihak dijamin. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menjalankan bisnisnya secara baik dan etis sedemikian rupa tanpa secara sengaja merugikan hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.
Etika bisnis mencakup jenis kegiatan sebagai berikut:
a.       Mempelajari prinsip-prinsip etika umum kepada kasus dalam bisnis
b.      Etika meta, mempelajari apakah norma moral yang lazimnya  diterapkan untuk menjelaskan  individu dan tindakan-tindakannya dapat diterapkan dalam organisasi bisnis
c.       Analisis asumsi dari bisnis
d.      Mempelajari bidang-bidang ilmu yang berkaitan dengan bisnis
e.       Menjelaskan tindakan-tindakan secara moral yang patut dipuji baik oleh individu dalam bisnis atau oleh perusahaan

PENYIMPANGAN ETIKA DALAM BISNIS
Kepentingan Pribadi
Penyimpangan etika dalam bisnis awal mulanya dipicu oleh menguatnya kepentingan pribadi yang jauh lebih besar dibandingkan kepentingan korporasi. Dengan tujuan utama untuk memperoleh keuntungan pribadi (personal gain) yang besar dalam tempo singkat mendorong banyak orang untuk melakukan cara apapun termasuk yang melanggar atau tidak etis dalam memperoleh keuntungan. Jika perlu mereka yang terjebak pada pola pikir pragmatis akan berusaha untuk menyingkirkan berbagai penghalang, termasuk rekan – rekan atau masyarakat yang terlibat. Akhirnya rasa ralus dan egoisme yang berlebihan inila yang menutupi hati nurani seseorang atau sekelompok tertentu untuk melakukan tindakan yang baik dalam bisnis,, serta memilih cara lain yang lebih instan dan lebih menguntungkan diri sendiri.
Konflik Kepentingan
Potensi penyimpangan etika dalam bisnis juga bisa berasal dari konflik kepentingan (conflicts of interest) seseorang terhadap pihak ain yang berhubungan dengan korporasi. Contoh yang patut diketengahkan di sini adalah suap, gratifikasi dan sumbangan dana kampanye politik. Suap adalah pemberian sesuatu yang bernilai tinggi kepada pihak lain sebagai cara untuk memanipulasi pihak penerima dengan membeli pengaruh tertentu kepada pihak penerima tersebut. Definisi lain suap adalah upaya untuk menawarkan, memberi, menerima atau memohonkan sesuatu yang bernilai dengan tujuan utama untuk mempengaruhi tindakan pejabat yang melampaui batas kewenangan.

Tekanan untuk Mencetak Laba
Laba merupakan hal yang baik diterima karena adanya laba memungkinkan suatu perusahaan untuk bertahan dalam kegiatan bisnisnya. Sering tekanan persaingan yang bertubi-tubi mendorong penyimpangan praktik bisnis yang etis ketika korporasi dihadapkan pada situasi untuk selalu menghasilkan laba, apalagi untuk korporasi dengan rapor keuangan merah. Membuktikan keuangan yang buruk pada korporasi cenderung mendorong korporasi untuk melakukan tindakan-tindakan tidak etis atau melanggar hukum.

Nilai-nilai yang Dianut Manajer/ CEO
Manajer/ CEO adalah tokoh kunci yang menjadikan sebuah korporasi dan karyawan mampu bertindak etis atau tidak etis. CEO cenderung hanya mengejar keuntungan jangka pendek, berpusat pada kepentingan diri sendiri dan mengabaikan invetasi jangka panjang dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.

CARA MENGATASI PELANGGARAN ETIKA BISNIS :

1.      Adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga yang terkait dengan perusahaan.
2.      Pemerintah dan lembaga yang terkait berperan aktif dalam mensosialisasikan informasi terhadap masyarakat awam.
3.      Perusahaan atau pelaku bisnis hendaknya benar-benar memahami betul prinsip etika dalam berbisnis agar tidak merugikan konsumen.
4.      Adanya sanksi atau tindak tegas yang diberikan pemerintah terhadap pelaku bisnsi atau perusahaan yang melakukan pelanggaran etika bisnis.


Referensi:
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. ALFABETA, cv
Gustina. 2008. Etika Bisnis Suatu Kajian Nilai dan Moral dalam Bisnis. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 3, No. 2
Sigit P, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : UPP STIM YKPN






Ethical Governance

Diposting oleh Unknown di 07.23 0 komentar
Nama : Arysti Safira Wulandari
NPM  : 21214721
Kelas  : 4EB21


Tanggung Jawab Korporasi sebagai Awal Mula Implementasi Good Corporate Governance
Pelaksanaan good corporate governance (GCG) sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perusahaan untuk berkembang dengan baik dan sehat. Kaen (2003) mendefinisikan corporate governance sebagai sesuatu tentang siapa yang mengontrol perusahaan dan mengapa dia mengontrol. Cadburry Committe pada tahun 1992, mendefinisikan corporate governance sebagai prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Sementara itu Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan corporate governance sebagai sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Shleifer dan Vishny (1997) mendefinisikan corporate governance sebagai caracara untuk memberikan keyakinan pada para pemasok dana perusahaan akan diperolehnya return atas investasi mereka (Darmawati, 2007).
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance / KNKCG (2004) dalam pedoman good corporate governance perbankan Indonesia mengungkapkan bank sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut prinsip keterbukaan (transparency), memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate values, sasaran usaha dan strategi bank sebagai pencerminan akuntabilitas bank (accountability), berpegang pada prudential banking practices dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung-jawab bank (responsibility), objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengambilan keputusan (independency), serta senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (fairness).
Dalam hubungan dengan prinsip tersebut perusahaan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
A. Keterbukaan (Transparency)
 1. Bank harus mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan haknya.
2. Informasi yang harus diungkapkan meliputi tapi tidak terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, cross shareholding, pejabat eksekutif, pengelolaan risiko (risk management), sistem pengawasan dan pengendalian intern, status kepatuhan, sistem dan pelaksanaan GCG serta kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi bank.
 3. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
 4. Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan stakeholders) dan yang berhak memperoleh informasi tentang kebijakan tersebut.

B. Akuntabilitas (Accountability)
1. Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing organ organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan.
2. Bank harus meyakini bahwa semua organ organisasi bank mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam pelaksanaan GCG.
 3. Bank harus memastikan terdapatnya check and balance system dalam pengelolaan bank.
4. Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan (corporate values), sasaran usaha dan strategi bank serta memiliki rewards and punishment system.
 C. Tanggung Jawab (Responsibility)
1. Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudential banking practices) dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku.
 2. Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik) termasuk peduli terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
D. Independensi (Independency)
 1. Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholder manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest).
2. Bank dalam mengambil keputusan harus obyektif dan bebas dari segala tekanan dari pihak manapun.
 E. Kewajaran (Fairness)
 1. Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment).
2. Bank harus memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.

Etika Bisnis menuju Implementasi Good Corporate Governance dalam Kegiatan Perusahaan
Etika dibutuhkan dalam bisnis ketika manusia mulai menyadari bahwa kemajuan dalam bidang bisnis justru telah menyebabkan manusia semakin tersisih nilai-nilai kemanusiaannya (humanistic). Sehingga, di kalangan pelaku bisnis muncul mitos bahwa bisnis adalah bisnis. Bisnis hanyalah mengabdi pada keuntungan sebanyak-banyaknya (profit oriented). Dalam kaitan ini Branson dan Dauglas (2001) menyebutnya sebagai mitos bisnis amoral. Telah bergulir suatu image, bahwa bisnis tidak boleh (jangan) dicampuradukkan dengan moral. Karena tuntutan publik dan hukum itulah, maka bisnis saat ini harus memberlakukan “being ethical and social responsibility”. Dengan berlaku etis dan mempunyai tanggung jawab sosial, bisnis akan langgeng dan akan terjadi hubungan jangka panjang dengan pelanggan, pemasok, dan pihak lainnya. Pelanggan akan membeli produk sebuah perusahaan yang mempunyai reputasi terbaik dalam tanggung jawab sosial bilamana kualitas, pelayanan, dan harga sama di antara para pesaing (Prawirokusumo, 2006).
Etika bisnis mempunyai pengaruh lebih luas daripada peraturan formal. Melanggar atau melupakan masalah etika akan menghancurkan kepercayaan. Kegiatan untuk mencari etika bisnis tersebut menyangkut empat macam kegiatan, yaitu:
1. Menerapkan prinsip-prinsip etika umum pada khususnya atau praktek-praktek khusus dalam bisnis menyangkut apa yang dinamakan meta-etika.
2. Menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya serta sistem ekonomi suatu negara pada khususnya.
3. Meluas melampaui bidang etika
4. Menelaah teori ekonomi dan organisasi.
Seperti yang kita ketahui bahwa dunia etika adalah dunia filsafat, nilai dan moral. Sedangkan dunia bisnis adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika berkenaan dengan persoalan baik atau buruk, sedangkan bisnis adalah dunia konkrit dan harus mewujudkan apa yang telah diputuskan. Hakikat moral adalah tidak merugikan orang lain. Artinya moral senantiasa bersifat positif atau mencari kebaikan. Dengan demikian sikap dan perbuatan dalam konteks etika bisnis yang dilakukan oleh semua orang yang terlibat, akan menghasilkan sesuatu yang baik atau positif, bagi yang menjalankannya maupun bagi yang lain. Sikap dan perbuatan yang seperti itu tidak akan menghasilkan situsai “win-lose”, tetapi akan menghasilkan situasi “win-win”. Apabila moral adalah nilai yang mendorong seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesutau, maka etika adalah rambu-rambu atau patokan yang ditentukan oleh pelaku atau kelompoknya. Karena moral bersumber pada budaya masyarakat, maka moral dunia usaha nasional tidak bisa berbeda dengan moral bangsanya. Moral pembangunan haruslah juga menjadi moral bisnis pengusaha Indonesia.
Selain itu, etika bisnis juga membatasi keuntungan, sebatas tidak merugikan masyarakat. Kewajaran merupakan ukuran yang relatif, tetapi harus senantiasa diupayakan. Etika bisnis bisa mengatur bagaimana keuntungan digunakan. Meskipun keuntungan merupakan hak, tetapi penggunaannya harus pula memperhatikan kebutuhan dan keadaan masyarakat sekitar. Jadi etika bisnis yang didambakan bagi para pelaku usaha tidak akan dipraktikkan dengan sendirinya oleh kalangan dunia usaha tanpa adanya “aturan main” yang jelas bagi dunia usaha itu sendiri. Jika tidak menjalankan etika bisnis, taruhannya adalah reputasi dan kepercayaan, sedangkan dalam berbisnis kedua hal tersebut merupakan faktor utama. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat menjaga kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Karena Etika bisnis merupakan pola bisnis yang tidak hanya peduli pada profitabilitasnya saja, tapi juga memperhatikan kepentingan stakeholder-nya.
Etika bisnis tidak bisa terlepas dari etika personal, keberadaan mereka merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi. Memahami teori etika pada dasarnya berguna untuk merumuskan dan mengambil nilai-nilai kebenaran, yang oleh individu ataupun masyarakat menjadi dasar bertindak. Tetapi, di sisi lain, pemahaman terhadap etika bisa juga berfungsi untuk menggeledah nilai-nilai kebenaran yang selama ini dianggap sudah mapan. Apapun fungsinya yang diambil, pastilah akan menemukan kenyataan bahwa nilainilai kebenaran itu ternyata beragam. Oleh karena itu maka manusia diharapkan dapat bijaksana dalam menerapkan ragam kebenaran secara profesional. Sehingga dalam dunia bisnis, otonomi, aspek kebebasan dan tanggung jawab menjadi titik pangkal dan landasan operasi bagi bisnis. Hal tersebut tentunya dilakukan prakteknya menggunakan etika dalam berbisnis sebagaimana mestinya, karena semua itu berhubungan dengan manusia baik secara individual maupun kelompok dalam hal ini terjadi interaksi antar manusia dalam berbisnis. Atas dasar itu, etika dan tanggung jawab sosial sudah menjadi bagian dari proses perencanaan strategis perusahaan. Bahkan beberapa perusahaan terkemuka sekarang ini sudah mempunyai Code of Conduct dan juga sudah mempunyai kode etika perusahaan yang dipatuhi oleh semua karyawan. Code of Conduct tersebut bisa menjadi norma hukum bagi penegakan Good Coorporate Governance di perusahaan. Seperti misalnya, inisiatif yang dilakukan dari sektor swasta melalui asosiasi-asosiasi bisnis dan profesi telah melahirkan Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI).
Tujuan dan obyektif didirikan FCGI meningkatkan kesadaran dan mensosialisasi-kan prinsip dan aturan mengenai Governance, Corporate Governance, dan Corporate social Responsibility (CSR) kepada dunia bisnis di Indonesia dengan mengacu kepada international best practice sehingga memperoleh manfaat dalam melaksanakan prinsip dan aturan yang sesuai dengan standar GCG dan CSR (FCGI, 2005). Selama lima tahun terakhir FCGI telah melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mengimplementasikan prinsip GCG. Bentuk kegiatannya sebatas memberikan informasi, memberikan bantuan konsultasi, dan sosialisasi prinsip-prinsip GCG kepada perusahaan, badan pemerintah, mahasiswa dan pihak-pihak yang berminat. Selain dari itu terbentuk pula institut-institut yang berkecimpung di bidang corporate governance, misalnya: Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG) dan Institute for Corporate Directorship.
Good Corporate Governance sebaiknya dianggap sebagai aset yang tidak berwujud yang akan memberikan hasil balik yang memadai dalam hal memberikan nilai tambah perusahaan dan GCG juga sebagai way of life atau kultur perusahaan yang dapat dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta pedoman perilaku manajemen. Oleh karena itu, ke depan setiap bidang atau sektor akan menerbitkan Pedoman GCG yang bersifat voluntary dan harus memuat hal pokok tentang kewajiban pemenuhannya bersifat “mandatory” dan juga dimasukan system reward and punishment (Siahaan, 2004)

KESIMPULAN
1. CSR mewakili kompromi antara etika dan perilaku-perilaku tertentu. CSR muncul untuk meningkatkan image perusahaan di dalam masyarakat di mana perusahaan itu menjalankan kegiatan usahanya. Ide untuk menjadikan kepedualian sosial perusahaan sebagai unsur pemasaran. Perencanaan sosial harus selalu masuk dalam rencana strategik perusahaan. Kegiatan sosial tersebut bukan suatu biaya, tetapi merupakan suatu investasi.
2. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.
3. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika
4. Good Corporate Governance sebaiknya dianggap sebagai aset yang tidak berwujud yang akan memberikan hasil balik yang memadai dalam hal memberikan nilai tambah perusahaan dan GCG juga sebagai way of life atau kultur perusahaan yang dapat dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta pedoman perilaku manajemen.

Referensi: 

Raharjo,Kharis. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY: DARI ETIKA BISNIS MENUJU IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE. http://jurnal.unpand.ac.id/index.php/dinsain/article/viewFile/144/141 (diakses 30 Oktober 2017)

PRINSIP ETIKA PROFESI AKUNTAN INDONESIA

Diposting oleh Unknown di 07.21 0 komentar
Nama : Arysti Safira Wulandari
NPM  : 21214721
Kelas  : 4EB21


Prinsip Pertama – Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa Perilaku Etika dalam Profesi Akuntansi terdapat 8 prinsip, diantaranya :

1.    Prinsip Pertama – Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, nenelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha koletif semya anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

2.   Prinsip Kedua – Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
1.                  Satu ciri utama dari profesi adalah penerimaan tanggung-jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis, dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik.
2.                  Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan terus menerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat dipegang teguh.
3.                  Dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
4.                  Mereka yang memproleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, obyektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik.
5.                   Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja.
3.   Prinsip Ketiga – Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
1.                      Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
2.                   Integritas mengharuskan seorang anggota antara lain untuk berikap juju dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi.
3.                   Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus, atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang berintegras akan lakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas dirinya.
4.                  Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.
4.    Prinsip Keempat – Obyektivitas
Setiap anggota harus mejaga obyektivitasntya dan bebas dari benturan kepentingan dalam memenuhi kewajiban profesionalnya.
1.                  Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.
2.                  Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen.
3.                   Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan obyektivitas, pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktor berikut :
·         Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi-situasi yang memungkinkan mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan unu dapat mengganggu obyektivitasnya.
·         Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi dimana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran harus digunakan dalam menentukan standar untuk mengidentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota.
·         Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari.
·         Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas.
·         Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka.

5.      Prinsip Kelima – Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
1.                  Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung-jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya.
2.                  Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seyogyanya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka punyai.
3.                  Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan.
4.                  Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima jasa dan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan tanggung-jawab untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-hati, sempurna dan mematuhi standar teknis dan etika yang berlaku.
5.                  Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung-jawabnya.
6.    Prinsip Keenam – Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
1.                  Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir.
2.                  Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal profesional untuk mengungkapkan informasi.
3.                  Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah pengawasnya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
4.                  Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga menharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi tersebut untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
5.                  Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia tentang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak disetujui kepada orang lain.
6.                  Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan dimana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.

7.   Prinsip Ketujuh – Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
1.                  Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung-jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja, dan masyarakat umum.

8.   Prinsip Kedelapan – Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
1.                  Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota adalah standart yang dikeluarkan oleh Ikatan Akunrtansi Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.

Reference:
Sigit, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern: Pendekatan Pemangku Kepentingan. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.


 

Everything About Arysti's © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor